masyarakat jawa masa kini
LAPORAN CATATAN LAPANGAN
“Masyarakat Jawa Masa Kini”
Laporan ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian
Akhir Semester
Mata kuliah Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa
Dosen Pengampu Dra. Rini Iswari, MSi
Disusun Oleh:
Retno Amar Mandandari
3401415047
Rombel :
2
Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015/2016
Latar Belakang
Suku
Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negara Indonesia.
Sebagai buktinya, jika kita pergi ke manapun kebagian pelosok-pelosok negeri
ini, pasti akan menemukan suku-suku Jawa yag mendiami kawasan tersebut meskipun
terkadang jumlahnya minoritas dengan kata lain di mana ada kehidupan di seluruh
Indonesia, orang Jawa pasti ada. Suku Jawa hidup dalam lijngkungan adar
istiadat yang sangat kental. Adat istiadat suku Jawa masih sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mulai masa-masa kehamilan sampai kematian.
Dalam hal ini dimanapun suku Jawa berada akan selalau dilaksanakan dan dijadikan
ugeman atau pathokan dalam kehidupan.
Banyaknya
keanekaragaman, ciri khas, dan budaya beserta tradisi-tradisinya. Orang-orang
Jawa dikenal memiliki sifat dan karakter yang sangat santun dalam bermasyarakat
sehingga akan mudah berinteraksi dengan suku-suku lain di Indonesia. Selain
dikenal dengan sifat dan karakter yang santun, masyarakat Jawa juga memiliki
wawasan seni dan keindahan. Dalam kehidupan orang Jawa, seni dan keindahan
sering kali bahkan tidak bisa dipisahkan. Baik seni rupa, seni tari, maupun
seni music. Sedangkan keindahannya terletak pada nilai-nilai seni masyarakat
Jawa.
Di
dalam laporan ini akan membahas beberapa aspek yang ada di dalam masyarakat
Jawa. Baik dari segi sosial, budaya, maupun kehidupan sehari-harinya.
Kebiasaan-kebiasaaan yang diwariskan dari nenek moyang mereka yang sampai saat
ini masih dijaga dan masih sering dilakukan akan penulis bahas juga di dalam
laporan ini.
Gambaran Masyarakat Jawa Masa Kini
Karakter
Orang Jawa
Suku
Jawa diindentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, dan menyembunyikan
perasaan alias tidak suka langsung-langsung., menjaga etika berbicara baik
secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara.
Dalam keseharian sifat Andap ashor
terhadap yang lebih tua akan lebih di utamakan. Bahasa Jawa adalah bahasa yang
memiliki tingkatan yang sesuai dengan objek yang diajak bicara. Ketika
berbicara dengan sesama teman maka bahasa yang digunakan adalah ngoko lugu. Kemudian
ketika berbicara dengan orang yang lebih tua maka bahasa yang digunakan adalah
krama alus. Berbahasa krama alus sebagai wujud seseorang menghormati orang yang
lebih tua atau dalam bahasa Jawa disebut Ngajeni.
Seperti kata pepatah Jawa yang mengatakan ajining
dhiri soko ing lathi yang artinya harga diri seseorang adalah dari apa yang
diucapkannya. Sehingga ucapan yang baik bagi masyarakat Jawa itu penting. Selain
harus sopan dalam berbicara kita juga harus menjaga sikap terhadap orang yang
lebih tua.
Saat
ini banyak anak muda yang tidak memperdulikan unggah-ungguh basa Jawa. Terhadap
orang yang lebih tua saja mereka sering bersikap tidak sopan, baik dalam ucapan
maupun tindakan. Banyak anak-anak jaman sekarang ini yang lebih sering
menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa Jawa.
Hal tersebut dapat dipengaruhi dari orang tua mereka yang sejak kecil
mengajarkan anak-anaknya berbahasa Indonesia. Sehingga anak-anak mereka tidak
bisa berbahasa Jawa baik ngoko maupun krama alus terhadap orang yang lebih tua.
Seharusnya sebagai orang tua yang tinggal dan hidup di Jawa harus bisa mengajarkan
anak-anaknya berbahasa Jawa yang baik dan benar, sehingga kelak nantinya ketika
sudah dewasa mereka dapat menjunjung tinggi etika orang Jawa yang terkenal
dengan keramah tamahannya dan sopan santunnya di masyarakat.
Ciri
khas Narimo Ing Pandum adalah salah
satu konsep hidup yang dianut oleh orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap
hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan.
Orang Jawa memang meyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak
dapat ditentang begitu saja. Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah
sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Kita tidak dapat menolak, apalagi melawan
semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan nasib kehidupan
adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidak dapat menolaknya. Orang
Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur
segalanya.
Pola
kehidupan orang Jawa memang unik. Jika ditelusuri pola hidup orang Jawa maka
ada banyak nilai positif yang dapat kita
peroleh. Bagi orang Jawa, Tuhan telah mengatur bagian penghidupan bagi semua
makhluk hidupnya, termasuk manusia. Setiap hari kita melihat banyak orang yang
keluar rumah untuk mencari kebutuhan hidupnya. Pagi mereka keluar rumah dan
sore pulang dengan kondisi yang leih baik.
Ciri
khas lainnya adalah sifat gotong royong atau saling membantu satu dengan yang
lain. Pola kehidupan masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dapat kita jumpai
adalah gotong royong yang masih diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat orang
Jawa. Terutama bagi masyarakat Jawa yang benar-benar di pedesaan. Masyarakat
Jawa sangat memegang tuguh pepatah yang mengatakan ringan sama dijinjing berat
sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup yang penuh kesadaran dan
tanggungjawab.
Kebiasaan
hidup mereka yang berkelompok membuat mereka menjadi sangat dekat seperti
saudara sendiri, sehingga rasa saling tolong menolong mereka sangatlah kuat
bahkan sudah menjadi kebutuhan mereka. Sebagai contoh ketika ada seorang warga
yang punya hajat, tanpa diminta para tetangganya akan datang untuk membantu keperluan
hajat tersebut atau dalam istilah Jawa disebut rewang. Tanpa imbalanpun mereka yang mambantu akan tetap ikhlas dan
senang hati telah ikut andil dalam acara hajat itu. Bahkan bagi orang-orang
Jawa yang pergi merantau ke luar kota kembali pulang untuk membantu hajatan
tersebut. Selain membantu mereka juga merasa nilai kerukunan itu penting
sehingga mereka yang merantau rela jauh-jauh untuk pulang agar tetap menjaga
hubungan baik kepada yang punya hajat tersebut dan masyarakat sekitar.
Kearifan
lokal Masyarakat Jawa
Di
era globalisasi saat ini berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia telah
mengalami banyak perubahan. Baik perubahan yang bersifat positif maupun negatif.
Perubahan tersebut telah mempengaruhi hampir semua masyarakat di Jawa, dari
segi sosial, budaya, maupun pengetahuan dan teknologinya.
Dilihat
dari masyarakat Jawa sendiri semakin lama semakin kehilangan jati diri mereka
sebagai orang Jawa. Terutama bagi mereka, para remaja Jawa yang semakin membarat. Tingkah laku dan
sikap yang mereka saat ini sangatlah berbeda dengan masyarakat Jawa tempo dulu
yang masih menjunjung tinggi nilai budaya Jawa. Kalangan remaja pada umumnya
telah banyak mengikuti gaya-gaya yang sedang populer saat ini dan telah
meninggalkan budaya mereka sendiri. Seperti misalnya, banyak remaja yang suka
memakai baju ala orang-orang barat daripada memakai batik yang telah menjadi
identitas masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang merupakan asal
muasal batik itu sendiri. Hanya pada saat-saat tertentu saja mereka
menggunakannya. Mereka beranggapan bahwa memakai batik terlihat seperti orang
tua sehingga mereka merasa malu memakai batik untuk kesehariannya. Selain itu,
para remaja tersebut juga berpendapat bahwa corak ataupun warna batik-batik itu
kuno dan ketinggalan zaman. Upaya yang dilakukan untuk melestarikan batik
sendiri kini sudah mulai banyak dilakukan. Salah satunya adalah di
sekolah-sekolah dan instansi-instansi pemerintah. Dihari tertentu mereka para
siswa dan pegawai instansi diwajibkan memakai baju batik. Dan saat ini disetiap
daerah di Jawa telah memiliki ciri khas batik tersendiri. Motif yang
digambarkan pada kain-kain batik tersebut menujukkan identitas suatu daerah.
Contoh seperti batik khas Kabupaten Wonogiri, corak yang digambarkan adalah
jambu monyet/jambu mete. Karena Wonogiri adalah penghasil kacang mete terbesar di Jawa Tengah maka objek
yang digambarkan pada kain batik khas Wonogiri adalah jambu mete.
Di
daerah tempat tinggal saya, khususnya bagi yang sudah lanjut usia masih setia
menggunakan kain jarit sebagai pakaian sehari-hari mereka. Bahkan ada juga yang
menggunakan kebaya dan jarit lengkap. Mereka berpendapat bahwa memakai jarit
dan kebaya sudah menjadi kebiasaan mereka sejak zaman dahulu. Memakai jarit
juga dirasa lebih nyaman daripada menggunakan celana. Zaman dulu jarit adalah
pakaian khas yang digunakan oleh perempuan-perempuan Jawa. Namun, sampai
sekarang hanya sebagian kecil dari nenek-nenek saja yang masih memakainya. Saat
ini pakaian jarit hanya pada momen-momen tertentu saja, seperti acara
pernikahan, wisuda, dan pada hari nasional seperti Hari Kartini.
Budaya yang sering muncul.
Di
masyarakat Jawa banyak terdapat budaya yang sampai saat ini masih dijaga dan
dilestarikan. Seperti wayang kulit, sampai saat ini wayang kulit masih tetap
bertahan walaupun harus bersaing dengan tayangan-tayangan televisi yang lebih
menarik. Di acara pernikahan juga seering diadakan pertunjukkan wayang kulit
yang diselenggarakan pada malam hari. Wayang
yang dijalankan oleh seorang dalang, dilengkapi dengan iringan musik gamelan
beserta para pesindennya.
Namun
sangat disayangkan, penonton wayang kulit pada umumnya adalah bapak-bapak dan
orang tua saja. Kalangan remaja merasa tidak tertarik dengan wayang kulit
tersebut. Mereka beralasan bahwa bahasa yang digunakan dalam pertunjukkan
wayang kulit terlalu rumit sehingga sulit untuk dipahami. Ada juga yang
berpendapat bahwa wayang kulit itu adalah pertunjukkan seni yang membosankan
dan membuat mengantuk bagi yang menonton. Untuk sementara ini upaya
melestarikan belum terlalu maksimal. Di lembaga-lembaga kependidikan saja
pengenalan mengenai wayang juga hanya ditingkat sekolah dasar saja.
Kebiasaan-kebiasaan
masyarakat Jawa yang saat ini masih ada adalah masih percayanya sesaji-sesaji
untuk keluarga yang sudah meninggal dunia. Pada saat bulan puasa disepuluh hari
terakhir, sebagian masyarakat Jawa masih membuat sesajen yang berupa makanan
seperti kue apem, nasi, ayam goreng, sambal goreng, dan lain sebagainya. Selain
makanan juga ada beberapa batang rokok dan sirih serta uang logam, Kebanyakan
yang masih melakukan ritual-ritual seperti itu disepuluh hari terakhir bulan
puasa adalah para orang tua yang masih kekeuh memegang teguh kebudayaan dari
nenek moyangnya terdahulu. Dan mereka percaya bahwa semua makanan yang disajikan
akan dimakan oleh keluarga mereka yang telah meninggal tersebut.
Filosofi dari pemberian sesajen tersebut adalah
sebagai wujud bahwa keturunannya yang masih hidup masih mengingat dan
mendoakanya leluhurnya yang telah lama tiada.
Tidak
hanya itu saja, tradisi membuat sesajen disaat panen raya biasanya juga masih
sering dilakukan. Bahkan oleh orang-orang tertentu sesajen diletakkan di sebuah
danyang ( pohon yang dikeramatkan).
Namun tradisi tersebut sudah jarang dilakukan, hanya para tetua-tetua dari
suatu desa saja yang masih melakukan hal tersebut. Sebagai wujud rasa terima
kasihnya kepada Tuhan Yang Maha Pemberi Rizki, masyarakat Jawa saat ini sudah
berpikir lebih rasional. Bagi mereka yang memiliki sawah dan ladang yang luas
dengan hasil panen yang melimpah, mereka cukup memberikan sebagian hasil panen
tersebut kepada para tetangga terdekatnya saja sebagai sedekah. Mereka tidak
lagi membuat sesajen-sesajen yang ditempatkan di danyang desa mereka sendiri. Karena proses pembuatan sesajen
tersebut dianggap terlalu rumit dan ribet, sehingga mereka yang sudah berpikir maju
tidak melakukan hal-hal tersebut lagi.
Tradisi
malam satu Suro.
Saat
malam satu Suro tiba, masyarakat Jawa pada umumnya melakukan rurtual tirakatan,
lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) dan tuguran (perenungan diri sambil
berdoa). Bahkan sebagian irang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral
seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat, ritual 1
Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645 Masehi). Seperti yang ada di Surakarta, ritual malam 1 Suro dengan
diaraknya kebo bule Kyai Slamet. kebo bule tersebut merupakan kebo kesayangan
miliki Susuhunan yang dianggap keramat. Semua warga baik warga Solo maupun luar
Solo seperti warga Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Boyolali juga ikut meramaikan
acara tersebut. Di Wonogiri sendiri ritual malam 1 Suro adalah jamasan pusaka
milik Mangkunegara I yang disimpan di sebuah tugu berwarna hitam di Kecamatan
Selogiri. Upacara jamasan yang berada di Wonogiri tersebut dilakukan di Waduk
Gajah Mungkur yang terletak kira-kira 5 km dari pusat Kota Wonogiri.
Di
Yogyakarta ada tradisi yang unik untuk menyambut malam 1 Suro yaitu mubeng benteng
atau berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Tradisi “Mubeng Benteng”
merupakan hal yang telah berlangsung lama, turun-temurun dari generasi ke
generasi, bisa jadi telah berlangsung semenjak berdirinya Keraton
Ngayogyakarta. Dan ini juga bukan jalan biasa, melainkan sebuah ritual berjalan
tanpa berbicara. Maka disebutlah acraa ini dengan kalimat “Prosesi Lampah
Budaya Topo Bisu Mubeng Benteng” dan dilaksanakan pada malam hari. Tapa Bisu atau mengunci mulut.
Sesuai namanya, ritual ini dilakukan dengan cara diam, tidak mengeluarkan
kata-kata selama ritual. Ritual ini juga bisa dimaknai sebagai upacara untuk
mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh,
menghadapi tahun baru di esok paginya. Seperti tradisi Tapa Bisu yang di lakukan
di kota Yogyakarta. Mereka melakukan untuk memohon perlindungan dan keselamatan
kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik untuk Kota Yogyakarta.
Kesimpulan
Di
Indonesia Suku Jawa adalah salah satu suku terbesar di Indonesia. Banyak keanekaragaman
budaya yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Mereka sangat menjaga budaya yang
diturunkan dari leluhurnya sehingga sampai saat ini masih tetap ada. Masyarakat
Jawa yang dikenal dengan karakternya yang santun dan unggah-ungguh tata kramanya
terhadap orang yang lebih tua menjadikan Jawa menjadi dikenal baik oleh banyak
orang.
Dalam
etika berbahasa masyarakat Jawa memiliki tingkatan-tingkatan atau strata dalam
setiap pemakaiannya. Bahasa ngoko digunakan untuk sesame teman, krama alus digunakan
ketika yang muda berbicara kepada orang yang lebih tua.
Tradisi-tradisi
yang terdapat dalam masyarakat Jawa juga masih terjaga meskipun saat ini sudah
ada pengaruh globalisasi yang telah merubah paradigma masyarakat Jawa. Budaya
yang sampai saat ini masih diuri-uri salah satunya adalah wayang kulit namun
nyatanya sampai sekarang eksistensi wayang kulit masih tetap bersinar.
Saran
Penulis
menyarankan kepada para generasi muda agar tetap melestarikan budaya Jawa yang
masih ada saat ini. Tindakan nyata yang bisa dilakukan salah satunya adalah
dengan mengikuti sanggar-sanggar, seperti sanggar tari tradisional yang ada di
masing-masing daerah. Tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan
mempelajari bahasa krama alus.
Daftar Pustaka
Pengamatan
Wawancara
TribunJogja.com
Lampiran

Gambar
diatas adalah Topo Bisu yaitu serangkaian
ritual pada saat malam 1 Suro yang ada di Yogyakarta. Warga berjalan
mengelilingi benteng Keraton Jogja tanpa berbicara.
Sumber:
tribunjogja.com

Gambar di atas adalah kiraban kebo bule Kyai
Slamet yang ada di Solo. Kebo Bule menjadi cucuking lampah dalam ritual
tersebut. Di belakangnya diikuti oleh keluarga keraton kamudian masyarakat dari
berbagai daerah di sekitar Surakarta.
Sumber:
Surakarta.go.id/konten/kirab-malam-1-suro

Gambar
di atas wanita-wanita Jawa yang mengenakan kain jarik, dan sebagian besar dari
mereka yang masih tetap menggunakannya adalah wanita tua atau simbah-simbah.
Sumber:
mimbarkata.blogspot.com
Gambar
diatas adalah pertunjukan seni wayang kulit yang pada umumnya dilaksanakan pada
malam hari. Di acara-acara pernikahan wayang kulit sering dipertunjukan untuk
meramaikan acara pernikahan tersebut.
Komentar
Posting Komentar