Budaya Keraton Mangkunegaran

BUDAYA KERATON MANGKUNEGARA

Diajukan untuk memenuhi Tugas MID Semester
Mata Kuliah Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa
Dosen Pengampu Fajar, S.Pd., M.Pd.




                                                           






Disusun Oleh:

                                    Nama              : Retno Amar Mandandari
             Nim                 : 3401415047
                                                                Rombel           : 2
                                                        Prodi               : Pendidikan Sosiologi dan Antropologi




FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015



A.   PENDAHULUAN

Kekayaan dan budaya negara besar seperti Indonesia ini merupakan potensi dan tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebagai warga Indonesia yang baik paling tidak kita ikut melestarikan kebudayaan yang masih ada tersebut. Kebudayaan keraton adalah salah satu pusat budaya yang adiluhung ada di Jawa Tengah.
Budaya yang ada sejak jaman dahulu pada masa kerajaan KGPAA (Kanjeng Gusti Pengeran Adipati Arya) Mangkunegara I masih turun temurun dilakukan oleh penerusnya meskipun ada sedikit perubahan-perubahan yang terjadi seiring perkembangan jaman yang semakin modern ini. Di dalam budaya yang ada di keraton ada beberapa akulturasi antara Jawa dengan Eropa bahkan juga China. Hal itu dikarenakan KGPAA Mangkunegara I sangat menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain seperti Belanda, Jerman, Italia, dan China. Peran pemerintah khususnya dinas purbakala dapat dilihat dari aspek pembangunannya. Keraton Mangkunegaran mengalami beberapa perbaikan yang dibantu oleh pihak pemerintah Indonesia sendiri guna tetap melestarikan peninggalan kerajaan masa lampau.
Keraton Mangkunegaran terletak di antara Jalan Ronggowarsito, Jalan Kartini, Jalan Siswa, dan Jalan Teuku Umar. Pura Mangkunegaran ini terletak di pusat Kota Solo. Komplek Mangkunegaran terbagi menjadi lima bagian, yaitu halaman depan, pendopo agung, paringgitan, dalem ageng, balewarni, dan balepeni. Halaman depan berupa lapangan yang di tengahnya terdapat kolam ikan yang kondisinya kurang terawat.

B.     METODE
Data ini diambil dengan cara pengamatan dan wawancara secara langsung dengan narasumber terpercaya yaitu seorang abdi dalem di keraton Mangkunegaran tersebut dengan objeknya adalah semua yang terdapat di keraton.


C.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Istana Mangkunegaran
Keraton Mangkunegaran adalah tempat kediaman Paduka Mangkunegara di Surakarta dan didirikan pada tahun 1757. Di bangun kembali pada tahun 1804 oleh Mangkunegara IV  dengan mengikuti model keraton yang lebih kecil.
            Secara arsitektur bangunan ini memiliki ciri yang sama dengan keraton, yaitu pada pamedan, pendopo, paringgita, dalem ageng, balewarni, dan balepeni yang seluruhnya dikelilingi oelh tembok yang kokoh.
            Pura ini dibangun setelah perjanjian Salatiga yang mengawali pendirian Praja Mangkunegaran dan dua tahun setelah dilaksanakannya Perjanjian Giyanti yang isinya membangi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta oleh VOC pada tahun 1755. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyowo terus memberontak pada VOC dan atas dukungan sunan mendirikan sebuah kerajaan sendiri pada tahun 1757. Raden Mas Said memakai gelar Mangkunegara I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe ( Kali Pepe ) di pusat kota Solo.
            Seperti bangunan utama di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu.
            Berikut ini adalah daftar  raja Keraton Mangkunegaran:
1.      Mangkunegara I (Raden Mas Said)    1757-1795
2.      Mangkunegara II                                1796-1835
3.      Mangkunegara III                               1835-1853
4.      Mangkunegara IV                               1853-1881
5.      Mangkunegara V                                1881-1896
6.      Mangkunegara VI                               1896-1916
7.      Mangkunegara VII                             1916-1944
8.      Mangkunegara VIII                            1944-1987
9.      Mangkunegara IX                               1987-sekarang
Akulturasi Yang Terdapat di Dalam Keraton Mangkunegaran

Istana Mangkunegoro yang didirikan oleh Raden Mas Said berbentuk joglo dengan empat sakaguru dan sebuah dalem dengan bentuk limasan dengan delapan buah sakaguru. Sakaguru tersebut dibuat dengan  menggunakan kayu jati yang berasal dari hutan Danalaya Kabupaten Wonogiri, dan proses pengiriman kayu tersebut adalah dengan cara dihanyutkan melalui Sungai Bengawan Solo. Seluruh bangunan tersebut didirikan tanpa menggunakan paku. Arsitektur yang digunakan adalah percampuran antara budaya Jawa dan Belanda. Dari bentuk fisik keraton lebih mendominasi dengan budaya Jawanya. Terlihat dari bentuk pendopo yaitu joglo. Kemudian bagian dalam yang disebut “Dalem Ageng” yang berbentuk limasan. Akan tetapi interior dalam keraton banyak terdapat barang-barang yang berasal dari luar negeri seperti dari Jerman, Italia, Belanda, dan China. Contohnya yaitu, lantai pendopo yang terbuat dari marmer yang dahulunya berasal dari Italia. Kemudian patung-patung yang menghiasi depan pendopo, yaitu dua patung singa yang berwaarna keemasan yang berasal dari Berlin, Jerman. Patung tersebut merupakan pertukaran barang antara Mangkunegara VII pada saat pergi ke Jerman. Pihak Mangkunegara VII menukarkan sebuah kain jarit kemudian ditukar dengan patung singa yang terbuat dari perunggu yang berwarna keemasan. Selain patung singa ada juga dua buah patung yang berasal dari China dan dua buah patung yang berasal dari Yunani yang terdapat di bagian depan Paringgitan.


Kehidupan Seni Budaya

 Langit-langit pendopo dihiasi dengan lukisan motif batik kumudowati dengan jenis modang dengan delapan warna yang dibentuk kedalam kotak yang berjumlah delapan yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Kotak pertama terdapat batik dengan warna kuning yang artinya mencegah rasa ngantuk, warna biru artinya mencegah musibah, warna hitam artinya mencegah lapar, warna hijau artinya mencegah frustasi, warna putih artinya mencegah pikiran seks birahi, warna oranye artinya mencegah ketakutan, warna merah artinya mencegah kejahatan, warna ungu  artinya mencegah pikiran jahat. Warna-warna tersebut dipilih karena diambil dari upacara tedak siten dimana delapan warna tersebut digunakan dalam pembuatan jadah ( makanan terbuat dari ketan putih yang sudah dimasak kemudian ditumbuk menjadi sangat lembut dan menyatu ) dan diwarnai sesuai dengan kedelapan warna tersebut.
Selain itu terdapat juga lukisan lambang zodiac dengan mata angin yang digambarkan dengan atribut dewa. Lukisan zodiak tersebut dilukis oleh orang China yang bernama Liem To Hin pada masa pemerintahan Mangkunegaran VII.
 Pada pendopo istana terdapat tiga perangkat gamelan yang memiliki nama dan fungsinya masing-masing. Gamelan yang pertama bernama Kyai Kanyut Mesem yang telah berusia kurang lebih 4,5 abad dan merupakan gamelan tertua di Keraton Mangkunegaran. Gamelan yang merupakan peninggalan Kerajaan Demak ini ditabuh setiap hari Sabtu Pon berfungsi untuk mengiringi tari-tari pusaka dan sakral. Kemudian gamelan yang kedua bernama Kodok Ngorek yang telah berusia 3 abad. Gamelan ini digunakan untuk upacara perkawinan anggota raja. Dan yang terakhir bernama Kyai Lipur Sari, gamelan ini termasuk yang paling baru diantara kedua gamelan sebelumnya, berfungsi sebagai iringan untuk anak-anak yang sedang berlatih menari di pendopo keraton.
Selain gamelan yang ada di pendopo, di bagian paringgitan  dan dalem ageng juga banyak terdapat lukisan-lukisan Mangkunegara I sampai Mangkunegara IX. Dan di antara lukisan-lukisan tersebut adalah karya Basuki Abdullah, seorang pelukis kenamaan Solo.

Peraturan Peraturan Untuk Memasuki Keraton

Sejak tahun 1968 Istana Mangkunegaran terbuka oleh para wisatawan. Namun, para wisatawan harus selalu mematuhi dan mentaati peraturan yang ditetapkan di keraton. Salah satu peraturannya adalah melepas segala alas kaki ketika memasuki area pendopo sampai ke dalam keraton. Selain melepas alas kaki, di dalam dalem agung juga tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar/foto. Itu dilakukan karena kepercayaan sejak jaman dahulu bahwa ada sesuatu yang mistis atau hal-hal gaib yang akan terjadi apabila mengambil gambar/foto di dalam dalem ageng.

Perkembangan Keraton Dari Aspek Bangunan

            Pertama kali bagian keraton yang dibuat adalah pendopo yang berbentuk joglo oleh Mangkunegara I atau sering dikenal Pangeran Sambernyowo pada tahun 1. Kemudian pada tahun 1866 oleh Mangkunegara II dibangun pendopo yang kedua yaitu paringgitan yang sering digunakan untuk pementasan wayang kulit.
            Saat ini ada beberapa bagian keraton yang telah mengalami perubahan, diantaranya adalah atap pendopo pertama dan juga ruang makan. Awal pembangunan langit-langitnya terbuat dari triplek, karena termakan usia langit-langitnya menjadi rapuh dan kemudian diganti. Untuk ruang makan diubah dengan menggunakan langit-langit yang terbuat dari kaca, dan hasilnya terlihat lebih mewah meskipun dengan barang-barang yang sederhana.
            Pada awalnya sebagian lampu yang terdapat di pendopo masih menggunakan lilin dan juga yang menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya. Saat ini lampu-lampunya telah berganti dengan menggunakan lampu listrik.

Peninggalan-Peninggalan Raja Terdahulu
                                                        
            Sejak pemerintahan Mangkunegara I banyak sekali peninggalan-peninggalan yang sampai saat ini masih disimpan secara baik di dalam dalem ageng. Peninggalan-peninggalan tersebut berupa perhiasan-perhiasan yang dulunya dipakai oleh para permaisuri yang meliputi: gelang, gelang kaki, kalung, anting, tindik, hiasan untuk telinga dan hidung. Selain perhiasan ada pula peralatan-peralatan makan seperti piring, sendok, garpu, gelas untuk minum, gelas anggur, gelas susu, gelas teh, wadah untuk air putih, dll. Semua peninggalan tersebut terbuat dari emas murni 24 karat. Banyak diantara peninggalan tersebut didapatkan oleh Mangkunegara IV dari hadiah-hadiah dari negara luar seperti China, Belanda, dan Jerman. Selain itu, Mangkunegara IV  juga mendapatkan hadiah berupa pedang dari Arab, Belanda, Turki, dan Katana dari Jepang.
            Ada beberapa bentuk-bentuk uang yang dipakai para raja yang terbuat dari emas, diantaranya berbentuk bulat berupa kepingan uang dan juga bulatan-bulatan kecil yang juga terbuat dari emas murni.
             
Tempat Tinggal Para Abdi Dalem

            Para abdi dalem bertempat tinggal di sekitar komplek kavallery dan artillery. Tempat ini dulunya digunakan sebgai gudang senjata dan kuda-kuda berlatih. Letak gudang ini berada di luar, tepatnya di lapangan dekat gerbang masuk sebelah selatan Keraton Mangkunegaran. Bangunan ini terlihat kurang terawat karena memang sudah tua umurnya.

Kebudayaan Keraton Jaman Dahulu

Dalem ageng juga terdapat ruangan yang dulunya digunakan sebagai tempat diletakkannya pusaka. Setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon di Keraton diselenggarakan suatu upacara untuk pusaka tersebut dengan menggunakan sesaji kembang tujuh rupa, pisang raja, dan kelapa hijau.


Kerajaan Menjadi Pusat Perhatian Masyarakat Pada Masanya

            Pada masa keemasan kerajaan di tanah air, kerajaan selalu saja menjadi pusat perhatian masyarakatnya. Itu terjadi karena dari kerajaan muncul ajaran-ajaran moral dan budaya yang adiluhung. Moral memberikan ajaran kepada masyarakat tentang perlunya hidup berdampingan di dalam masyarakat, saling toleransi, dan saling  hormat menghormati.
            Kebudayaan adiluhung merupakan kebudayaan yang tinggi di dalam kehidupan sosial yang menekankan moral-moral yang baik untuk menghindari perselisihan. Dan di dalam perjalanannya sejarahnya, Keraton Mangkunegaran memiliki ajaran moral yang tinggi dan kebudayaan yang adiluhung.

Antusiasme Masyarakat Sekarang Terhadap Kebudayaan di Keraton

            Rasa ingin tahu masyarakat saat ini mulai berkurang, hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang ke Keraton Mangkunegaran. Di hari libur seperti hari Minggu pun sangat sedikit pengunjung yang ada di keraton. Ada beberapa factor yang mempengaruhi kejadian ini diantaranya adalah semakin canggihnya teknologi saat ini sehingga setiap orang dapat mengakses dan mencari tahu informasi-informasi mengenai apa saja tentang Keraton Mangkunegaran secara lengkap, jelas, dan tidak memerlukan tenaga yang ekstra. Selain teknologi juga factor dari dalam diri manusia itu sendiri. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu liburan mereka untuk pergi ke suatu tempat seperti mall, caffe dan tempat-tempat rekreasi. Dan tanpa mereka sadari itulah sikap awal dari ketidakpedulian terhadap budaya sendiri.

Peran Pemerintah Terhadap Keraton

            Ada beberapa bentuan yang telah diberikan pemerintah Indonesia khusunya dinas purbakala untuk tetap melestarikan Keraton Mangkunegaran beserta isinya. Dari segi pembangunan, keraton sendiri sudah memperoleh  bantuan dari dinas purbakala untuk memperbaiki bagian-bagian keraton yang telah rusak. Sebagai contoh adalah pergantian langit-langit pada ruang-ruang dalem ageng dan pendopo, kemudian pergantian cat keraton.




D.   Penutup

Kesimpulan

Keraton Mangkunegaran adalah istana tempat kediaman Mangkunegara yang berada di Surakarta yang didirikan pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said atau sering dipanggil dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo. Kemudian dibangun kembali oleh Mangkunegara IV pada tahun 1804.
            Di dalam Keraton Mangkunegaran terdapat banyak benda-benda peninggalan dari raja-raja terdahulu yang sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di dalam keraton.
            Antusiasme masyarakat Indonesia sendiri dirasa kurang untuk memperlajari lebih dalam lagi mengenai keraton, dimana keraton adalah sumber terbentuknya moral yang adiluhung di Jawa Tengah.

Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan kepada pemerintah agar lebih memperhatikan peninggalan-peninggalan sejarah yang tersebar di Indonesia. Paling tidak pemerintah ikut andil dalam melestarikan secara maksimal dan perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat pada umumnya mengenai pentingnya nguri-uri dan mempelajari sejarah yang ada di sekitar kita. Supaya kita tetap menjaga moral-moral yang ada pada era kerajaan jaman dahulu.








Daftar Pustaka

Narasumber dari Keraton Mangkunegaran yaitu Bapak Budi Pujastono sebagai seorang abdi dalem keraton.
Moh Oemar, Sudarjo, Abu Suud.1994.Sejarah Daerah Jawa.Jakarta.Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

surat reservasi hotel

surat pesanan berdasarkan iklan

Heterogenitas Masyarakat Indonesia