Persepsi Mengenai Gender Di Dalam Keluarga dan Masyarakat Desa.

Nama               : Retno Amar Mandandari
Nim                 : 3401415047
Rombel            : 2
Makul              : Sosiologi Gender

Pandangan Gender Serta Sosialisasi Peran Laki-Laki dan Perempuan Dalam Keluarga

Saya lahir di keluarga yang beranggotakan lima orang, terdiri dari ayah, ibu, kakak laki-laki, saya, dan adik laki-laki yang tinggal di sebuah desa. Saat ini ayah berusia 52 tahun dan ibu berusia 45 tahun. Ayah dan ibu hanya tamat sampai sekolah dasar, pekerjaannya adalah sebagai pedagang nasi goreng di Jakarta. Mereka menikah pada tahun 1990 dan memiliki anak pertama pada tahun 1991. Kakak tamat sekolah menengah kejuruan yang saat ini sedang berkerja di Jakarta sedangkan adik telah lulus SMK tahun 2017 dan sedang mempersiapkan untuk masuk perguruan tinggi. Meskipun dari kecil sudah ditinggal oleh orang tua merantau, kami tetap diawasi oleh orang tua dan selalu diperhatikan.
Konsep gender dan jenis kelamin di dalam masyarakat sering kali disalah artikan. Gender merupakan konstruksi yang telah dibangun oleh masyarakat dalam menentukan bagaimana peran-peran antara laki-laki dan perempuan di masyarakat terbentuk. Pemahaman mengenai gender belum seluruhnya diketahui oleh masyarakat awam. Bahkan dikalangan akademisi pun belum secara keseluruhan memahami mengenai gender. Di masyarakat, khususnya yang masih memiliki pola pikir yang tradisional dalam memahami gender dan jenis kelamin akan disamakan. Seorang perempuan selalu saja dihubungkan dengan kegiatan rumah tangga (domestic) seperti memasak, bersih-bersih, mengurus anak, dan lain sebagainya sedangkan laki-laki salalu berada di sektor publik, dimana laki-laki dapat melakukan aktivitas di luar rumah tangganya seperti mencari nafkah. Konsepsi masyarakat tradisional (masyarakat desa) terhadap laki-laki dan perempuan yang demikian diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai cara, salah satu cara yang dilakukan adalah melalui pola asuh yang diberikan orang tua kepada anaknya.
Dalam keluarga, orang tua akan memperlakukan pola pengasuhan terhadap anak laki-laki dan perempuan secara berbeda sesuai dengan jenis kelamin mereka. Hal tersebut sangat terlihat dalam pola pengasuhan di masyarakat pedesaan. Seperti dalam pola pengasuhan nenek dan kakek terhadap ayah dan ibu saya. Ibu merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara. Dari kedelapan saudara, hanya tiga orang anak yang perempuan termasuk ibu. Ketika ibu masih kecil, nenek dan kakek selalu menuntut ibu agar bisa memasak ketika masih duduk di bangku SD. Sehingga ketiga anak perempuan nenek bisa memasak diusia yang masih kecil. Nenek selalu mengajarkan kepada anak-anak perempuannya agar mereka rajin dan pandai memasak. Hal tersebut terjadi karena menurut nenek, perempuan hanya bertugas di dapur dan di dalam rumah saja. Seorang perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan laki-laki seperti memanjat atap rumah, mencangkul di sawah, dan memotong kayu. Bahkan dibidang pendidikan semua anak perempuan nenek hanya lulus sekolah dasar sedangkan anak laki-laki nenek dan kakek sampai tamat sekolah menengah pertama. Nenek beranggapan bahwa seorang perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi-tinggi karena pada akhirnya anak perempuan akan segera dinikahkan jika sudah berusia 16 atau 17 tahun. Sehingga pendidikan dirasa tidak terlalu penting untuk seorang anak perempuan. Selain pembagian peran, kakek dan nenek juga mengajarkan bahwa untuk menjadi seorang perempuan itu harus memliki sifat yang lemah lembut, duduk yang sopan (tidak boleh jegang, kedua kaki harus rapat), tidak boleh berbicara kasar dan keras, dan tidak boleh menentang laki-laki/penurut.
Sedangkan pola pengasuhan dari orang tua ayah juga hampir sama dengan orang tua ibu, dimana nenek dan kakek dari ayah memberikan perlakuan yang disesuaikan dengan jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dua saudara ayah semua laki-laki. Dalam pengasuhannya, anggapan nenek dan kakek bahwa setiap anak laki-laki diharuskan memiliki fisik yang kuat dan bertanggungjawab. Menurut kakek dan nenek, laki-laki nantinya akan menjadi seorang kepala keluarga yang harus menghidupi seluruh anggota keluarganya. Ketika tugas tersebut tidak dipenuhi maka laki-laki tersebut tidak dianggap sebagai laki-laki sejati. Dalam kegiatan sehari-hari, kakek dan nenek juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk bekerja keras misalnya seperti mencangkul di sawah atau ladang, mencari makan ternak, memotong kayu, dan lain sebagainya. Bahkan ketika ayah masih kecil dilarang untuk menangis, karena nenek selalu berkata  bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Dari pola pengasuhan yang seperti itu dapat membentuk mental ayah dan kedua saudaranya untuk bisa menjadi laki-laki yang tangguh ketika dewasa kelak. Pendidikan ayah hanya sampai sekolah dasar karena factor ekonomi keluarga pada saat itu. Untuk sekolah saja ayah jarang diberi uang saku oleh nenek ataupun kakek. Ketiga anak nenek harus mencari sendiri uang saku mereka dengan cara menjual singkong ke pasar. Pada dasarnya pola pengasuhan yang dilakukan oleh kakek dan nenek bertujuan untuk menjadikan semua anaknya menjadi pribadi yang mandiri, hal tersebut dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam kehidupan nyata yang keras sehingga dituntut untuk lebih kuat secara fisik maupun mental. Terlebih lagi untuk seorang laki-laki yang pada akhirnya akan menjadi seorang pemimpin.
Pemahaman mengenai gender oleh masyarakat pedesaan hanya sebatas bagaimana seroang laki-laki dan perempuan yang seharusnya. Dalam artian bahwa seorang laki-laki dan perempuan harus menjadi diri mereka sesuai dengan jenis kelamin dan konstruksi yang dibangun oleh masyarakat. Tidak terkecuali anggapan mengenai gender oleh orang tua saya. Karena dipengaruhi oleh pola pengasuhan orang tua dahulu yang selalu memetakan pembagian peran laki-laki dan perempuan sehingga ketika ayah dan ibu sudah berkeluarga pola pemikiran tersebut masih dipakai meskipun dengan bentuk yang berbeda. Saya lahir di dalam keluarga di pedesaan yang terdiri dari tiga bersaudara, dan saya merupakan anak kedua. Kedua saudara saya merupakan laki-laki.
Saya menyadari bahwa pemahaman mengenai gender dan jenis kelamin di dalam keluarga saya masih mengikuti masyarakat pada umumnya. Sebagaimana yang telah dikonsepsikan oleh orang-orang Jawa bahwa seorang perempuan harus dapat melakukan kegiatan 3M yaitu masak, macak atau berdan dan, manak atau melahirkan. Sehingga orang tua saya dengan berdasarkan pemikiran yang demikian memperlakuan saya (sebagai anak perempuan) dan kedua saudara saya (anak laki-laki) berbeda. Dulu, ketika saya kecil ayah  tidak suka ketika saya memiliki rambut pendek. Saya masih ingat betul beliau berkata,” cah wedok ki rambute yo kudu dowo to nduk, rambut endek  koyo cah lanang.” Setelah mempelajari tentang gender saya berfikir bahwa ternyata sejak kecil saya sudah diperlakukan untuk menjadi seorang perempuan yang benar-benar perempuan menurut orang Jawa dan orang tua saya bahkan masyarakat. Menurut masyarakat di desa saya, seorang perempuan ketika sudah berusia 12 tahunan atau sudah kelas 6 SD harus bisa mencuci baju sendiri, harus sudah bisa bersih-bersih rumah, dan mulai belajar memasak. Mereka beranggapan bahwa pada usia-usia tersebut telah dianggap sudah besar untuk mengurusi diri sendiri. Dan masyarakat selalu berfikir bahwa ketika seorang anak perempuan tidak dapat melakukan kegiatan tersebut akan menjadi bahan gossip tetangganya dan akan dicap sebagai perempuan yang malas. Berbeda dengan laki-laki, ketika pada usia-usia tersebut mereka tidak dituntut untuk mencuci baju sendiri atau pun bersih-bersih. Masyarakat memaklumi jika seorang laki-laki itu bersifat malas karena anggapan mereka sifat tersebut merupakan sifat alamiah laki-laki.
Sama halnya di dalam keluarga, ayah dan ibu pun demikian dalam memperlakukan anak-anak mereka terutama saya sebagai anak perempuan. Ayah dan ibu selalu menugaskan saya ketika bangun pagi untuk menyapu seluruh lantai dan depan rumah setelah itu mencuci piring. Sedangkan kakak dan adik ketika bangun pagi hanya menunggu sarapan tersedia di atas meja. Jika saya tidak menyapu dan mencuci piring ibu akan mengomel. Bahkan ada tetangga saya (seorang perempuan) setiap paginya tidak terlihat menyapu ayah berkata,”cah wedok tanganne kok ora tau nyekel sapu”. Jika ayah ataupun ibu mendapati kamar saya berantakan, mereka selalu berkata,” yuuh, keset e. Kamar e wong wedok kok koyo ngene”. Tetapi jika kamar kakak atau adik yang berantakan justru ibu yang merapikan. Hal tersebut membuktikan bahwa menurut pandangan ayah dan ibu, seorang perempuan harus rajin dalam segala hal terutama bersih-bersih rumah. Sama seperti saya, kakak dan adik pun diperlakukan sebagai layaknya seorang laki-laki yang telah dikonstruksikan di dalam masyarakat. Seorang laki-laki tidak harus menyapu, mencuci baju atau pun memasak tetapi ketika laki-laki tidak dapat memperbaiki genteng yang bocor, tidak mampu memperbaiki alat-alat elektronik, tidak dapat memperbaiki kabel yang putus, dan segala kegiatan yang dikhususkan untuk laki-laki maka mereka tidak dianggap sebagai laki-laki yang sebenarnya menurut orang tua kami.
 
Indikator Pembeda
Orang tua
Saya
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Peran
Kakek dan nenek selalu mensosialisasikan peran dengan pekerjaan yang berat kepada laki-laki misalnya seperti mencangkul, memanjat pohon dan atap rumah.
Selalu memberikan peran kepada anak perempuannya agar kelak menjadi seorang istri yang mampu mengurus rumah tangganya misalnya harus bisa memasak sejak kecil, bersih-bersih dan sebagainya.
- mengganti genteng yang bocor
- menggantikan ayah kumpul KUD
-menghadiri acara tahlilan
- memasang bola lampu


- menyapu lantai dan depan rumah
-membantu ibu memasak
- mencuci baju dan piring
- pergi ke pasar.
Nilai yang ditanamkan
-Laki-laki harus kuat secara fisik maupun mental
-tidak boleh manja
-tidak boleh cengeng
-harus memiliki sifat tanggungjawab karena pada akhirnya akan menjadi seorang ayah.
-Perempuan harus lemah lembut
- sopan dan santun  - pandai memasak
- mengurus rumah tangga
-  penurut.
-Bertanggungjawab
-Tidak boleh cengeng
-Memiliki fisik yang kuat
-diajarkan untuk bekerja keras, dan hidup mandiri
-Memiliki sifat yang berani
- Tidak manja
- Mampu menjadi seorang pemimpin
- Lemah lembut
- sopan santun
- menjadi seorang yang penurut
- pandai memasak
- rajin
Pola asuh
- diperbolehkan main sampai malam
-sedikit dibiarkan karena anak laki-laki,
-tidak boleh  menangis
-diajarkan untuk hidup mandiri.
-sedikit lebih protektif daripada dengan anak laki-laki
-tidak boleh keluar malam
-tidak boleh memakai rok pendek atau pakaian ketat

-Orang tua cenderung lebih santai dalam mendidik anak laki-lakinya
-diperbolehkan pulang larut malam bahkan ketika menginap di rumah teman tidak terlalu dipermasalahkan,
- ketika anak laki-laki melakukan  kesalahan ayah atau ibu menegur dengan nada yang keras.
-Orang tua lebih protektif,
-tidak boleh keluar terlalu lama
- ketika saya masih kecil sering dibelikan baju warna pink
- tidak boleh pulang diatas jam 9 malam,
-setiap hari ditelfon
-dianjurkan memiliki rambut panjang
- jarang dibentak.
Pendidikan
Boleh melanjutkan setelah lulus SD tetapi karena factor ekonomi yang tidak mendukung pada saat itu.
Hanya diperbolehkan sampai tamat SD.
Tidak membatasi dalam menempuh pendidikan. Jika ingin sampai sarjana pun tidak masalah.
Tidak membatasi dalam menempuh pendidikan, sama halnya dengan anak laki-laki.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa konsep gender belum banyak dipahami oleh masyarakat bisa dilihat dari latar belakang pendidikan, sosial, budaya dan pola pengasuhan dari orang tua terdahulu. Kebanyakan factor dari proses sosialisasi orang tua  terhadap anaknya akan mempengaruhi pola pengasuhan yang sama ketika anak tersebut sudah menjadi dewasa. Namun hal tersebut dapat dihindari dengan pengetahuan, cara berpikir yang lebih rasional dan disesuaikan dengan perkembangan zaman terkini. Sebagai orang tua harus mampu mensosialisasikan bagaimana peran-peran antara laki-laki dan perempuan dengan tepat. Dilihat dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat pedesaan, pola pengasuhan terhadap anak laki-laki dan perempuan dibedakan sesuai dengan jenis kelamin mereka. Pola pikir yang menyatakan bahwa laki-laki lebih segalanya di atas perempuan. Peran dan nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak-anaknya hampir mirip dengan peran dan nilai-nilai yang ditanamkan dari kakek dan nenek. Ditambah lagi dengan konstruksi di masyarakat yang menilai bahwa perempuan harus dapat mengurus pekerjaan rumah sedangkan laki-laki tidak, menjadi factor pendukung orang tua memperlakukan hal yang sama seperti apa yang didapatkan orang tua dulu. Pemikiran yang masih tradisional tersebut juga ditanamkan kepada anak-anak mereka sampai dewasa sehingga ketika sudah berkeluarga, pola pengasuhan yang demikian akan diadopsi untuk anak-anak mereka selanjutnya. Sehingga konsep gender yang terbangun di dalam masyarakat akan terus demikian dan masih selalu bertahan di dalam masyarakat. Hanya saja saat ini orang tua sudah lebih berkembang dalam menentukan pendidikan untuk anak-anak mereka. Baik laki-laki maupun perempuan tidak lagi dibatasi dalam menempuh pendidikan. Sehingga perbedaan diera dimana orang tua saya dibesarkan dan sekarang orang tua membesarkan saya dan saudara-saudara saya sangat terlihat di bidang pendidikan, dimana saat ini orang tua sudah memikirkan pendidikan anak-anaknya sampai tinggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

surat reservasi hotel

surat pesanan berdasarkan iklan

Heterogenitas Masyarakat Indonesia